Selasa, 08 Juli 2008
Tari Cukin, Sisi Lain Kesenian Cokek
Bila diperhatikan secara seksama, seni Tari Cukin tidak jauh berbeda dengan tari Cokek yang sudah lebih awal dikenal dan representasi sebuah kebudayaan asli masyarakat Tangerang. Hanya yang membedakannya, Tari Cukin sejenis drama tarian yang menceritakan para remaja putra dan putri yang sedang bersenda gurau pada pada suatu malam yang cukup cerah dan menggunakan tema ungkapan keceriaan para remaja dengan gerak tari yang cukup indah sehingga membuat kaum laki-laki tergerak untuk ikut serta didalamnya. Kesan pornoaksi dalam tarian Cukin sudah ditinggalkan oleh para penarinya.
Tarian ini pertama kali dipentaskan pada saat resepsi HUT Republik Indonesia (RI) ke-62. Di sela-sela sambutan Bupati Tangerang H Ismet Iskandar ketika itu, setelah menyaksikan pertunjukan spontan tersebut langsung memberikan nama tarian tersebut menjadi Tarian Cukin. Istilah Cukin merupakan bahasa asli masyarakat Tangerang yang mengandung artian selendang biasa dipakai para penari yang berarti juga kain yang dipakai untuk menggendong anak.
Tarian ini merupakan implementasi hasil workshop pengembangan kreasi seni daerah Kabupaten Tangerang yang diadakan pada tanggal 1 Agustus 2006 lalu. Sebagai maestronya adalah Nani Mulyani yang mengadopsi gerak tari Cokek yang sejak zaman Belanda telah berkembang. Hanya dalam ketentuan tari Cukin ini, rambu-rambu yang diamanatkan seniman mengacu pada norma-norma agama dan paradigma masyarakat Kabupaten Tangerang yang religius.
Hadirnya seni tari Cukin karena adanya tari Cokek yang sering kali dipandang negatif. Representasi kehadiran tari Cokek yang berkembang di Tangerang lebih berintonasi pada musik Betawi, China (Tionghoa). Selain itu, kaidah gerakannya pun belum memiliki aturan yang jelas.
Sebagai sesepuh tari Cokek adalah Masnah yang telah renta dan berumur lebih dari 60 tahun dan bertempat tinggal di Teluk Naga. Tari Cokek untuk saat ini sangat tabu dan hanya dihadirkan pada acara-acar tertentu seperti hajatan warga-warga keturunan Tionghoa untuk menghibur sekaligus pelepas syahwat. Karena tarian tersebut sangat gerakannya bersentuhan langsung secara fisik antar laki-laki dan perempuan dalam satu sarung.
“Pada zaman penjajahan dahulu, tari Cokek adalah tarian penghibur dan pelepas syahwat para petinggi Belanda yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai aksi untuk mengelabui para penjajah Belanda,” jelas Nani kepada Tangerang Tribun, Senin (7/7).
Hasil dari pengembangan, kolaborasi dan workshop kreasi seni daerah Kabupaten Tangerang dapat tercipta suatu tarian yang mencerminkan seni budaya khas Kabupaten Tangerang.
“Karena dengan terciptanya suatu kesenian daerah, maka hal tersebut akan berdampak pada kemajuan dan akan memperkuat jati diri serta kepribadian pada suatu daerah tersebut,” lanjutnya.
Konflik dalam tari Cukin dikemas secara humor dan dimainkan oleh 5 orang nong dan I orang kang. Sedangkan para pangrawit atau biasa disebut nagaya berjumlah 10 orang yang masing-masing memegang satu buah alat musik.
“Dan diakhir cerita, para penari wanita meninggalkan penari laki-laki yang sedang terhanyut oleh tarian dan alat musik. Ketika penari laki-laki menyadari dia akan mengejar dan memegang selendang, maka terjadilah tarik menarik antara keduanya, dan membuat kang jatuh ditelapak kaki nong,” pungkasnya.
Waditra/ alatmusik terdiri dari bonang, te khian, rebab, angklung gubrag, kendang, gong, kecrek, rebana marawis dan terompet pencak silat dengan alunan musik pengiring perpaduan dari jenis musik tradisional yang dipadukan sehingga menghasilkan musik yang dinamis. “Terbagi dua sesi, yang pertama musik instrumental dan yang kedua lagu yang langsung dinyanyikan seperti, nong manis, Ati sayang, kenong batok, nu ngibing dan nong darenok,” tandasnya.
Sementara Kepala Dinas Pemuda Olah raga Budaya dan Pariwisata Kabupaten Tangerang HM Komarudin menambahkan, tari Cukin adalah tarian yang bermetamorfosis dari tari Cokek dan sebagai budaya asli Kabupaten Tangerang untuk menambah khasanah dan menampilkan ciri dan warna budaya asli masyarakat Tangerang.(credit foto: AEN/ Tangerang Tribun)
Label:
budaya daerah,
Cokek,
tangerang,
Tari Cukin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar