Jumat, 04 Januari 2008

Bencana Banjir dan Problem Tata Kota


Banjir yang melanda sebagian wilayah Kota Tangerang (juga sebagian besar Indonesia), bukan hanya fonemena alam dan musibah tahunan. Persoalan banjir adalah persoalan prilaku dan tata ruang. Perlu kebijakan untuk mengeliminir (bahkan) menekan meluasnya bencana.

Khomsurizal, Tangerang Tribun


Banjir bukan persoalan takdir atau kekecewaan tuhan atas prilaku manusia. Persoalan banjir adalah persoalan tumpangtindihnya kebijakan yang membuat penataaan tata kota tidak terarah, serta kebiasaan umat manusia yang sembrono dan tak peduli menjaga lingkungan.
Sebenarnya, problem yang disebutkan diatas sudah disadari betul oleh pembuat kebijakan. Namun kuatnya kepentingan untuk mendapatkan profit (dari pembangunan property misalnya) membuat kita ‘terpaksa’ bersikap masa bodoh.
Problem tata ruang, mestinya menjadi “Kambing Hitam” penyebab musibah bencana banjir ini, karena dengan seenaknya mereka melakukan perubahan tata guna lahan, penyimpangan rencana tata ruang wilayah, makin berkurangnya daerah resapan air, dan makin padatnya rumah-rumah di bantaran kali serta pengurukan tanah.
Meski banjir akhir-akhir ini terbilang besar, tetapi tipikal penyebab bencana tetap sama; hutan gundul, pembangunan serampangan, hingga tak adil menjaga sungai dengan membuang sampah sembarangan. Melihat hal itu, mestinya penanganan dan pencegahan sudah bias dilakukan. Baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan instansi terkait. Apalagi badan Meteorologi dan Geofisika sudah mewanti-wanti, curah hujan pada musim hujan tahun ini lebih besar karena siklus limatahunan.
Walikota Tangerang Wahidin Halim mengatakan, penanganan banjir di daerahnya harus dilakukan secara integratif yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pemerintah daerah penyangga Ibu Kota Jakarta.
Saat ditemui Tangerang Tribun, beberapa waktu lalu di kediamannya, dia mengungkapkan fenomena banjir ini sebenarnya merupakan bencana alam yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Pemkot Tangerang. Sebab bencana banjir ini sudah merupakan bencana antar daerah yang harus diselesaikan bersama-sama.
“Menurut saya solusi yang tepat untuk penanganan dan pencegahan ancaman banjir ini adalah diperlukan adanya suatu kebijakan nasional dalam rangka penataan ruang termasuk di dalamnya penataan sungai-sungai yang ada di hilir yang berpotensi menimbulkan banjir,” kata Wahidin Halim.
Pencegahan banjir ini, sambungnya, bisa dengan penataan dan perbaikan aliran sungai serta Daerah Aliran Sungai (DAS), misal dengan membuat jalur hijau di daerah Garis Sepadan Sungai (GSS) dan melarang daerah tersebut sebagai tempat pemukiman. Selain itu pembuatan tandon-tandon air, normalisasi tempat-tempat penampungan air, rebosiasi, serta normalisasi sungai-sungai kecil juga perlu dilakukan.
Wajar saja, jika daerah Kota Tangerang yang memiliki strukturisasi sungai di bawah apitan beberapa sungai, seperti Kali Pesanggarahan, Kali Angke, Kali Sabi dan Kali Cirarab serta Kali Cisadane, mengalami bencana yang lebh dasyat dibandingkan wilayah lainnya.
Demikian diperparah beberapa bantaran kali di Kota Tangerang juga sudah dijadikan perumahan-perumahan, seperti Pinang Griya, Total Persada, Ciledug Indah dan lainnya.
Menurut Kepala Balai PSDA Provinsi Banten Wilayah Sungai Cidurian dan Cisadane, Joko Suryanto mengatakan, perlu adanya normalisasi sungai dari hulu ke hilir, terutama di ruas-ruas kritis. Normalisasi juga bisa menekan risiko dan kerugian jika banjir datang. Namun, normalisasi tetap harus dilanjutkan dengan perbaikan daerah aliran sungai dan juga pemeliharaan yang memadai. “Bantaran sungai sudah penuh rumah. Itu belum masalah genangan di jalan, seharusnya perlu juga dibangun sodetan untuk mengatasi masalah banjir, sayangnya beberapa orang menolak dibangun proyek sodetan itu,” kata Joko.
Sebenarnya, sambung Joko, potensi Cisadane justru bisa menanggulangi banjir. Panjangnya sekitar 250 kilometer lengkap dengan kelokannya, debit banjir Cisadane bisa bisa mencapai 1.500 meter kubik per detik. Tetapi hilir pembuangan air, sekarang sudah dipenuhi perumahan warga di Kohod Pakuhaji dan Tanjung Burung Teluk Naga di Kabupaten Tangerang. “Solusinya perlu ada relokasi penduduk, kalau dulu daerah itu dilarang ditempati, karena untuk menanggulangi pembuangan banjir,” kata Joko.
Di samping itu, musim penghujan yang hadir pada penghujung tahun dan sekitar awal tahun baru di daerah ini, seringkali kali menitipkan bencana banjir akibat minimnya daerah resapan air dan terbatasnya kapasitas drainase kota. Pada daerah-daerah perumahan yang “konon” dahulu di jaman penjajahan Belanda tidak boleh ditempati penduduk, karena untuk resapan air, seperti di Kecamatan Priuk, Kecamatan Pinang, Kecamatan Cibodas, kini telah diberdiri perumahan berkelas “elit”, yakni Total Persada Priuk, Pinang Griya Pinang, Taman Cibodas dan seterusnya. Sedangkan pegembang perumahan-perumahan tersebut tidak menyediakan danau buatan untuk resapan air sebagaimana ketentuan. Ironinya, saat ini banyak lahan yang dibangun beton yang akhirnya semua mengandalkan drainase. Tak ayal lagi, banjir terjadi dimana-mana!. (*) Foto: M Jakwan/Tribun.