Jumat, 14 November 2008

Wisata "Emping Menes" di Pandeglang


Anda kenal emping melinjo? Makanan ringan ini mudah dijumpai di berbagai gerai makanan tradisional maupun modern. Selain sebagai pelengkap santapan, emping seringkali dijadikan cemilan favorit karena rasanya yang gurih nan renyah. Di Menes, mengolah emping dengan cara sederhana menghasilkan cita rasa yang berbeda.

Kampung Karang Mulya, Desa Tegal Wangi, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang adalah salah satu dari sekian banyak sentra produksi emping yang banyak bertebaran di wilayah itu. Menes memang ditetapkan sebagai kawasan agropolitan oleh pemerintah daerah dengan penghasilan utama emping melinjo. Di sini, Anda akan disuguhi beragam emping dengan rupa-rupa rasa yang khas hasil olahan tradisional.
Emping yang sudah menjadi kebanggaan sekaligus ikon masyarakat Pandeglang itu dihasilkan berkat tangan-tangan terampil para penduduk Menes. Tak heran bila kemudian emping produksi mereka disebut dengan nama emping menes. Emping hasil olahan ini memiliki cita rasa yang khas dan aroma yang sangat menggoda. Inilah yang membedakan emping menes dengan emping lain di Tanah Air.
Satibi (50) dan Eliah (45) adalah pasangan suami isteri yang bertahun-tahun menggantungkan hidup sebagai perajin emping. Sama dengan perajin pada umumnya yang ada di Menes, suami isteri ini pun malang melintang memproduksi emping secara sederhana dan tradisional. Tidak besar memang usaha yang digeluti keluarga ini. Tetapi mereka dapat hidup cukup dan menyekolahkan putera-puterinya dengan layak.
“Kalau dibandingkan dengan perajin emping yang lain, usaha saya ini sangat kecil, tapi cukup lumayanlah untuk menutupi kebutuhan keluarga,” kata Eliah seperti disampaikan kepada Tangerang Tribun, yang saat itu dirinya sedang sibuk mengolah emping di rumahnya sendiri.
Dalam memproduksi usahanya, Eliah mempekerjakan delapan orang karyawan yang direkrut dari lingkungan sekitar. Proses pembuatan emping Eliah pun sangat sederhana. Melinjo tua sebagai bahan baku utama emping terlebih dahulu dikupas kulitnya untuk kemudian digoreng di atas wajan dengan menggunakan kayu atau ranting pohon sebagai bahan bakar.
Proses menggorengnya pun cukup unik. Tanpa menggunakan minyak goreng (minyak sayur) tetapi cukup dengan menggunakan pasir yang sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu. Setelah warna melinjo berwarna kehitaman menandakan kematangannya, melinjo kemudian diangkat dan dikumpulkan lalu ditumbuk-tumbuk sampai tipis sesuai ukuran yang diinginkan untuk selanjutnya dikeringkan. Walhasil, jadilah emping menes yang terkenal ke seantero Tanah Air.
Menurut Eliah, menggoreng dengan menggunakan pasir (bukan minyak goreng) adalah yang membedakan rasa emping Menes dengan emping dari daerah lain seperti emping Jawa Tengah. Sedangkan perajin emping di daerah lain (luar Menes) kebanyakan dengan cara direbus.
“Kalau menggunakan pasir namanya di”sangray”. Ini akan terasa lebih gurih dan khas dan baunya juga lebih harum,” katanya mengungkap rahasia. Emping olahan Eliah ini dipasarkan ke pasar lokal. Bahkan banyak juga pembeli yang langsung mendatangi rumahnya. “Bentuk emping dari daerah lain dengan hasil olahan kami di sini, boleh sama. Tapi soal rasa tentunya berbeda,” ujar Eliah sedikit berpromosi.
Nah, bagi Anda yang sedang berkunjung ke Pandeglang dan suka dengan makanan ini, Anda tentu tidak akan melewatkan kesempatan untuk datang ke Menes. Lalu memborong rupa-rupa emping hasil kerajinan warga di sana sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah.


Si Cuplik, Cemilan Beragam Rasa

Perajin emping melinjo di Menes Pandeglang umumnya mengolah dua jenis emping dengan ukuran berbeda. Yang pertama adalah ukuran sedang bulat tipis atau biasa disebut emping biasa. Jenis ini biasanya menjadi makanan pelengkap hidangan –meski tak sedikit yang menjadikannya sebagai cemilan karena rasanya yang gurih-. Kedua emping dengan ukuran bulat kecil atau disebut keceprek. Oleh sebagian besar perajin, emping ini disebut dengan nama si cuplik.
Si cuplik memiliki rasa yang beragam. Tergantung pesanan atau kemauan yang mengolah. Ada rasa gurih asin, manis dan pedas. Seluruh rasa itu tetap menawarkan kelezatan yang menggoda. Tak heran bila kemudian si cuplik lebih banyak dijadikan sebagai cemilan. Harganya pun berbeda dengan emping biasa.
Eliah misalnya mematok harga Rp 26 ribu per kilogram untuk emping cuplik. Sedangkan emping ukuran biasa berbentuk bulat tipis dihargai Rp 17 ribu per kilogram. Harga tersebut biasanya berubah-ubah tergantung dari harga pasaran bahan baku.
Produksi emping Eliah ini setiap harinya mampu memproduksi sebanyak 10 kilogram atau dalam 1 bulan mencapai 300 kilogram. Adapun untuk keceprek mampu memproduksi 15 kilogram setiap hari atau jika dirata-ratakan dalam satu bulan mencapai 450 kilogram.
Eliah mengupah karyawannya dengan sistem penghasilan produksi masing-masing karyawan. Artinya setiap karyawan akan dibayar bergantung perolehan emping yang hasilkannya dengan harga Rp 2 ribu per kilogram. "Alhamdulillah dari modal 1 juta usaha saya masih bisa berlangsung sampai saat ini," terang Eliah.
Karena harganya yang merakyat, makanan khas Pandeglang ini mampu menembus lintas batas status sosial. Itu pula mengapa emping cuplik maupun emping biasa banyak dijumpai di restauran, rumah makan, warung tegal, pasar tradisional, pasar modern, dan berbagai gerai makanan lainnya. Karena itupula Eliah tidak berniat menutup usahanya meski terkadang terengah-engah di tengah jalan karena keterbatasan modal. Untuk itu ia berharap kepada pihak manapun termasuk pemerintah untuk membantu permodalan dan pemasaran. "Kami ingin sekali emping ini bisa menembus pasar Jakarta dan luar Jakarta, tapi modalnya tak ada," keluh Eliah ditemani sejumlah karyawannya.
Masalah keterbatasan modal bukan saja dirasakan oleh Eliah bersama Satibi, suaminya, tetapi juga dirasakan hampir seluruh perajin emping melinjo di Menes. Pemerintah Daerah Pandeglang sebenarnya telah meluncurkan berbagai program penguatan ekonomi lokal melalui pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Akan tetapi, program itu hanya sebatas di atas kertas tanpa terasa realisasinya oleh para perajin itu sendiri.
Berdasarkan laporan dari berbagai sumber, Kabupaten Pandeglang mampu memasok lebih dari 20 ribu ton emping melinjo dalam setiap tahun. Hanya saja, minimnya pengelolaan dan perhatian pemerintah yang berakibat lemahnya strategi pemasaran menjadikan usaha rakyat itu seperti mati suri.