Sabtu, 20 September 2008
Mengubah Citra Erotis Tarian Cokek
“Selendang (bahasa chinanya cukin) yang dikalungkan merupakan tanda undangan bagi tamu lelaki yang ikut ngigel di panggung,” kata pimpinan group Gambang Kromong, Maman Setiawan (59) atau yang dikenal dengan nama koh Wie Tiang ketika ditanyakan tentang cukin atau tari Cokek.
Tarian ini menjadi pemandangan biasa di rumah kawin saat warga keturunan Tionghoa menjalani ritual upacara pernikahan (Chiou Thoau). Biasanya acara menari bersama ini berlangsung dua hari dua malam. Beberapa gadis berbedak tebal dan berselendang awalnya hanya menari di depan tetamu. Perlahan, bersama alunan gambang kromong, mereka mulai menggoda para tamu lelaki hingga “ritual” pengalungan selendang.
Jika selendang sudah dikalungkan, pantang bagi si tamu menolak ajakan. Menolak ajakan ngigel (berjoget) berarti menorehkan aib ke diri sendiri, karena dianggap tak mampu memberikan uang saweran pada si penari. Orang yang dipilih menari bersama para penari cokek biasanya juga bukan orang sembarangan. Tokoh masyarakat dan orang kaya setempat mendapatkan kesempatan pertama.
Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber, budaya tari cokek diperkirakan sudah ada dan berkembang di perkampungan pesisir Tangerang sejak awal abad ke-19. Pada zaman itu Tangerang dikuasai tuan-tuan tanah yang biasa menggelar pesta hiburan sebagai ajang unjuk gengsi. Salah satunya Tan Sio Kek yang menguasai daerah Tanjung Kait, pesisir utara Kabupaten Tangerang.
Alkisah Tan Sio Kek memiliki kelompok musik yang beranggotakan tiga orang Tionghoa bertocang (rambut kepang satu). Kabarnya ketiga pemusik ini didatangkan langsung dari Zhangzou, Hokkian bagian selatan, tempat asal nenek moyang perantau Tionghoa Indonesia. Kelompok musik ini kemudian menyisipkan tarian yang dibawakan para gadis sebagai daya tarik tambahan. Konon dari nama tuan tanah Tan Sio Kek inilah nama tari cokek dikukuhkan.
Tari cokek ditarikan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Tarian khas Tanggerang ini diwarnai budaya etnik China. Penarinya mengenakan kebaya. Sementara tarian cokek sendiri mirip sintren Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini kerap mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat.
Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki. Setelah itu mereka mengajak tamu untuk menari bersama,dengan mengalungkan selendang. pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.
Koh Wie Tiang (70), pemimpin Kelompok Tari Cokek Shinta Nara di daerah Teluk Naga, Tangerang yang mengaku keturunan keenam yang menjalani usaha ini membawahi sepuluh perempuan penari dan tujuh pemain musik. Sementara alat musik yang dipakai untuk mengiringi tarian cokek tidak jauh berbeda dari gambang kromong Betawi. Rebab dua dawai yang disebut Khong a yan, suling, kempul, gong, kendang, dan kecrek mengiringi lenggak-lenggok para penari cokeknya. “Biasanya saya kalau dipanggil pentas dua hari dua malam kami tetapkan tarif sebesar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta,”kata Koh Wie Tiang. Uang itu selanjutnya, dibagi rata dengan seluruh awak.
Biasanya, lanjut Koh Wie Tiang, pertunjukan dimulai pukul 21.00 hingga tengah malam. Kemudian dilanjutkan kembali esoknya dari pukul 10.00 hingga tengah malam lagi. “Lagu-lagu yang biasa kita bawain antara lain Gelatik Nguk – nguk, Cente Manis Dipatok Burung, Surilang Enjot-enjotan dan lain-lain,” katanya lagi.
Berharap Tanpa Erotisme
Tarian erotis bagi tari Cokek memang begitu melekat sehingga membuat preseden negatif terhadap kesenian ini. banyak pula yang mencoba untuk menghilangkan kesan buruk ini. ”Kami juga ingin menjadikan cokek sebagai sebuah seni bermutu dengan menghilangkan unsur erotisme di dalamnya. Namun kami tidak ingin menghilangkan beberapa unsur penunjang yang kaya dengan budaya campuran Cina, Betawi dan Jawa ini,” tutur Jaelani, salah satu pemain te yan dan juga kerap pembina cokek ini yang ditemui, Rabu kemarin seraya mengatakan hal itu juga harus ditunjang oleh keikutsertaan pemerintah untuk melakukan pembinaan.
upaya lanjutnya, cokek tak lagi mengesampingkan unsur erotisme sebagai daya tarik tapi menekankan dinamisme gerak si penari. Sehingga orang mau menonton tariannya dan bukan erotisme seperti selama ini yang menjadi kesan.
“Mudah-mudahan cokek dapat menjadi sajian manis tanpa unsur erotis,” katanya. (Tangerang Tribun)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar