Oleh: Khomsurizal
(Radius Nol / Tangerang Tribun)
Bagi generasi saat ini, Surya yang dikenal sebagai “Pendekar Cisadane” kurang populer di kalangan warga, apalagi anak sekolahan. Namun nilai-nilai perjuangannya saat mengusir penjajahan di bumi Benteng Betawi ini patut dilestarikan, hingga suatu waktu Dinas Pendidikan pernah menggagas agar “Pendekar Cisadane” ini masuk dalam kurikulum sekolah.
Selain perjuangannya mengusir penjajah, Pendekar Cisadane ditengarai memiliki pesan moral, falsafah dan semangat melestarikan budaya asli Tangerang. Bila demikian, patut kiranya, rencana “menyekolahkan” Pendekar Cisadane ini segera diterapkan. Apalagi, budaya orisinil dan kesenian Tangerang sudah tergerus zaman serta mulai hilang dari peredaran kosmopolitan.
Di sisi lain, Sabtu (13/4) lalu, Kesenian Tari Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir (TTKKDH) oleh para pengurusnya akan didorong untuk masuk dalam kurikulum sekolah di Kabupaten Tangerang. Dikatakan Sonny Indrajaya, Ketua TTKKDH, tengah menyiapkan program untuk kembali memajukan kesenian tari Tjimande yang telah ada sejak tahun 1952 itu. Dirinya bertekad mengenalkan kesenian tari ini hingga bisa dikenal dunia melalui sekolah-sekolah di Kabupaten Tangerang.
Nah dari semangat pekerja seni dan budaya tersebut diatas, nampaknya masyarakat juga perlu melirik sejumlah kebudayaan asli atau kesenian yang berabad-abad lalu telah berkembang di Tangerang. Seperti diketahui, Tangerang merupakan titik pertemuan beragam etnis dan multi kultur baik Sunda, Betawi, Jawa, Tionghoa dan lainnya yang menumbuhkembangkan beragam pula seni dan budaya diantaranya ialah Tari Cokek, Tari Kucing Ngarang, Bola Sundul dan Tari Tjimande.
Bahkan pekan lalu, sejumlah pekerja seni dan seniman yang tergabung dalam Barisan Muda Seni Budaya Tunas Paramuda Kabupaten Tangerang juga menemui Wakil Bupati H Rano Karno untuk membicarakan perkembangan budaya dan seni di Tangerang. Nampaknya, bidang kesenian di Kabupaten Tangerang boleh dikatakan memasuki proses “pembangkitan”, seiring harapan terhadap kepemimpinan (Ismet dan Rano “Si Doel Anak Sekolahan”) yang dinilai cukup consern atas seni dan kebudayaan ini. Jika tak sekarang, kapan lagi!.(*)
Rabu, 16 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar