Kecerdasan kita mengelola perbedaan kembali diuji. Beberapa hari terakhir ini marak berita tentang sekelompok orang yang menamakannya dirinya menganut ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Alquran Suci. Pada yang pertama, polisi telah bertindak.
Tokoh dan pengurus teras kelompok itu telah dicokok. Polisi berencana menimpakan pasal penodaan agama yang memang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sedang terhadap yang kedua, polisi belum mengambil tindakan apa-apa. Karena selain masih belum jelas duduk soal aliran ini dalam konstelasi agama-agama yang diakui negara, tokoh, dan elit pengurus kelompok ini pun belum menampakkan diri.
Implikasi kemunculan dua ajaran ini sudah jelas. Banyak orang tua dan kerabat anggota dua ajaran ini menyalurkan keluhannya. Sebagaimana terekam media massa, ada orang tua dan kerabat yang merasa anak dan saudaranya berubah perangainya sejak bergabung dengan kelompok ajaran itu. Bahkan ada yang sudah beberapa hari menghilang atau memisahkan diri dari keluarga dan kerabatnya. Mereka yang bergabung ke kelompok-kelompok ini mayoritas anak muda dan mahasiswa. Pada kelompok Al-Qiyadah lebih banyak pria, sedang pada kelompok Alquran Suci yang bergabung lebih banyak wanita.Para ahli ilmu-ilmu sosial dan humaniora mestinya urun rembug di soal ini.
Fenomena maraknya anak-anak muda terpelajar masuk ke kelompok itu perlu dibaca secara terang-berderang. Dengan begitu, apa pun kebijakan dan tindakan yang akan diambil akan berbasis pengetahuan ilmiah, masuk akal, jauh dari sikap emosional, dan bersifat menyeluruh. Ini gejala apa? Adakah hubungannya dengan latar sosial-budaya tertentu, misalnya kemiskinan, disorientasi di tengah gempuran globalisasi, atau bahkan melemahnya kepercayaan pada ajaran-ajaran agama mainstream? Atau, ini lebih pada gejala lemahnya negara mengingat sejak dulu juga ajaran-ajaran "sempalan" semacam ini juga sudah ada?Kecerdasan kita diuji lantaran di beberapa tempat sudah muncul gejala menakutkan. Ada kelompok yang merasa benar dan entah dari mana legalitas dan legitimasi didapatkannya telah melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap para pengikut kelompok Al-Qiyadah.
Kekerasan fisik dan interogasi ala fasis telah mereka tampilkan begitu vulgar dan telanjang. Sebuah video yang kami dapatkan memperlihatkan anak-anak muda itu dipukul, ditendang, dan dibanting setelah sebuah dialog penuh tekanan berjalan seret dan macet. Rasa kemanusiaan siapa pun yang melihatnya akan sulit menerima perlakuan itu.
Kita boleh tidak setuju pada orang atau kelompok lain. Tapi, ketidaksetujuan atau perbedaan mesti disikapi dan direspons secara beradab dan jauh dari kekerasan. Kalau pun perbuatan orang atau kelompok yang kita tidak setujui atau sepakati itu telah meresahkan, ada mekanisme hukum yang mengaturnya. Pasal penodaan atau penistaan agama dalam KUHP, misalnya, bisa kita gunakan.
Itu berarti harus melibatkan aparat negara, seperti polisi atau kejaksaan, karena memang untuk itulah negara ada. Kalau kita merasa negara tak berdaya, lemah, maka kitalah, masyarakat sipil, yang harus lebih berdaya.Itu artinya kita harus membiasakan diri berdialog secara cerdas. Main gampang dengan cara sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan, tanpa melakukan sesuatu yang sifatnya mencerahkan dan mengajak berdialog pihak yang kita anggap "sesat" adalah perbuatan tidak cerdas.
Orang-orang tua yang mengumbar air mata di televisi menangisi kepergian anak yang bergabung dengan kelompok-kelompok itu mestinya introspeksi. Kenapa anak lebih tertarik dan percaya pada ide kelompok itu hingga demikian mudah menular bagai virus daripada ide orang tua dan kerabatnya sendiri? Pemerintah pun kita harapkan cermat dan hati-hati menangani persoalan ini agar tak justru menimbulkan problem baru. Yang jelas, siapa pun yang main hakim sendiri dan melakukan tindak kekerasan harus dihukum. Itu jelas ada dalam banyak pasal di KUHP. (Iskandar Siahaan/Kalitbang Lip6)
Kamis, 01 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar