Minggu, 25 November 2007

Manusia Penyebab Iklim Berubah

Manusia Penyebab Iklim Berubah

Perubahan iklim menimbulkan cuaca tidak lazim di seluruh dunia
Mayoritas besar warga di banyak negara sekarang yakin aktivitas manusia menyebabkan pemanasan global, demikian menurut sebuah jajak pendapat BBC World Service.
Sebagian besar responden yakin diperlukan langkah besar dan segera untuk menangani pemanasan global.
Lebih dari 22.000 orang di 21 negara diminta pendapatnya dan hasilnya menunjukkan ada kesepkatan besar mengenai isu ini.
Jajak pendapat ini diterbitkan sehari setelah 150 negara bertemu di PBB untuk membahas perubahan iklim.
Sekitar 79% responden survei BBC ini sepakat "tindakan manusia, termasuk di bidang industri dan transportasi, merupakan penyebab besar perubahan iklim."
Sembilan dari 10 orang mengatakan diperlukan suatu tindakan, dan dua per tiga responden bahkan mengajurkan lebih jauh, dan mengatakan "perlu diambil langkah-langkah besar dan segera."
Tidak ada satupun mayoritas responden di satu negara yang mengatakan tidak diperlukan tindakan apapun untuk mencegah perubahan iklim.
Bila kita tidak bertindak sekarang, dampak perubahan iklim akan sangat menghancurkan
Survei itu dilakukan oleh perusahaan peneliti Globescan dan organisasi Program on International Policy Attitudes (Pipa) di Universitas Maryland, Amerika Serikat.
Direktur Globescan Doug Miller mengatakan kesadaran yang semakin meningkat mengenai pemanasan global membangunkan perhatian warga dunia. "Dampak cuaca yang aneh terhadap properti mereka, terhadap mereka secara individu dan terhadap negara mereka sekarang tampak nyata bagi masyarakat dunia."
Dia mengatakan "kekuatan berbagai temuan ini membuat kita sulit membayangkan lingkungan opini publik yang lebih mendukung bagi para pemimpin nasional untuk memberi komitmen memperbaiki iklim."
'Tidak ada waktu'
Survei ini menunjukkan dukungan meluas (73% responden) bagi kesepakatan internasional untuk membatasi emisi gas rumah kaca, termasuk di negara-negara berkembang.
Sebagai imbalannya, negara-negara berkembang akan mendapatkan bantuan keuangan dan teknologi dari negara-negara kaya.
Hanya di Mesir, Nigeria dan Italia sebagian masyarakatnya berangggapan negara-negara berkembang seharusnya tidak diharapkan untuk membatasi emisi.
Mayoritas di sejumlah negara berkembang penting setuju agar negara-negara seperti Cina (68%), Brazil (63%) dan Indonesia (54%) dibatasi.

PANDANGAN MENGENAI PERUBAHAN IKLIM
Langkah besar dibutuhkan sekarang: 65%
Langkah tidak terlalu besar bisa dilakukan nanti: 25%
Tidak dibutuhkan tindakan: 6%
Sumber: Jajak pendapat BBC World Service

Hari Senin Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon mengatakan dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi PBB mengenai perubahan iklim bahwa "waktu untuk meragukannya sudah lewat".
Ban berharap dapat mendesak diadakannya perundingan politik mengenai pemanasan global dalam konferensi yang akan diadakan di Bali bulan Desember mendatang.
"Bila kita tidak bertindak sekarang, dampak perubahan iklim akan sangat menghancurkan," katanya.
Wakil-wakil dari sekitar 150 negara, termasuk 80 kepala negara, ikut dalam pertemuan yang diadakan sehari sebelum sidang Majelis Umum PBB dimulai di New York.
Akan tetapi, Presiden Amerika George Bush tidak hadir.
Bush menjadi tuan rumah sendiri dalam pertemuan mengenai perubahan iklim yang dihadiri 16 negara "pembuang gas rumah kaca besar" di Washington hari Kamis dan Jumat.
Ada serangkaian laporan ilmiah dalam beberapa bulan terakhir yang menunjukkan peran utama manusia dalam menyebabkan perubahan iklim.
Beberapa hari yang lalu para ilmuwan pemerintah Amerika membenarkan bahwa tahun ini jumlah es yang mencair di kawasan laut Artik lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.(bbc)

Minggu, 18 November 2007

Pulau Umang

">" border="0" alt="" />
Sejuta Pohon, Sejuta Pesona di Pulau Umang

Memasuki Pulau Umang, Kawasan Konservasi Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang, keasrian dan sejuta pesona wisata bahari langsung terhampar nyata. Obyek wisata alternatif di Provinsi Banten ini tidak hanya lengkap dengan beraneka ragam sarana wisatanya, tetapi kian bersolek seiring ditanamnya sejuta pohon.

Laporan: Khomsurizal, Tangerang Tribun


Sabtu (17/11) lalu, sekitar 45 orang perwakilan dari berbagai media cetak nasional, elektronik dan company yang berpusat di Jakarta, antusias menanam Pohon Ketapang di tengah laut Selat Selamat Datang, tepatnya di Pulau Umang, Kabupaten Pandeglang.
Aksi mereka merupakan bagian dari Gerakan Menanam Sejuta Pohon untuk menanggulangi permasalahan penghijauan, atau yang oleh masyarakat internasional dikenal sebagai Global Warming (Pemanasan Dunia). Dengan ditanamnnya pohon ini, setidaknya mereka ikut berpartisipasi menggerakan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan, melestarikan keseimbangan kehidupan, mencintai alam dan melangkah pasti melakukan konservasi. “Ayo kita tanam pohon ini, selamatkan lingkungan sekitar kita,” kata Siscostelo, penyiar radio swasta.
Satu pohon ini, menambah daftar ratusan pohon ditanam dalam gerakan yang diprakarsai manajemen Pulau Umang Resort dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) bekerjasama dengan Ujung Kulon Conservation Society (UCS). Sejak tahun 2006, sejumlah tokoh peduli lingkungan ikut terlibat seperti Marzuki Usman, MS Kaban, Agum Gumelar, Ratu Atut Chosiyah, Desy Ratnasari, Ruth Sahanaya, Nafa Urbach, BUMN, sejumlah perusahaan nasional dan lainnya.
Sementara menanam Sejuta Pohon oleh 45 orang pada kesempatan itu, menjadi rangkaian puncak dari kegiatan Insight Training yang diselenggarakan manajemen Pulau Umang Resort & SPA pada tanggal 16-17 Nopember.
Sebelumnya, mereka mengikuti outbond di area Bukit Legon. Bukit Legon The Outbound Adventure berada di ketinggian Pantai Sumur dengan pemandangan laut bebas yang spektakuler. Di area outbound yang lengkap untuk aktivitas ‘back to nature’ lantaran memiliki kombinasi tracking ke bukit, rakit di sungai dan saung tradisional ini, peserta Insight Training menambah pengembangan diri, juga terlihat menikmati “persekutuannya” dengan alam. Dipandu oleh sekelompok pecinta alam yang kreatif dan profesional, outbond tidak sekedar petualangan alam bebas, tetapi mulai memahami keseimbangan kehidupan yang harus ditata sejak dini. Satu persatu game disuguhkan, diantaranya flying fox, high roof dan river trip.
Setelah menjalani game outbond, Tangerang Tribun dan peserta Insigt lainnya, menempuh perjalanan 1 mil dengan menggunakan shuttle boat menuju Pulau Umang sekitar 7 menit lamanya. Dalam perjalan meninggalkan Pulau Jawa (Main Land) itu, nampak Pulau Umang seakan-akan mendekat. Terlihat elok, dengan sinar matahari sore berkilauan indah. Tidak jauh dari Pulau Umang juga terlihat pulau kecil lainnya, ialah Pulau Panaitan dan Bukit Tangkil.
Sesampainya di Pulau Umang, keramahan manajemen Pulau Umang kepada tamunya langsung menyambut hangat. “Saya bermalam di Cottege 121 Sunrise (nama salah satu kamar-red), pesona laut sangat mengesankan,” terang Adelia, peserta Insight kepada Tangerang Tribun ketika sampai di kamar yang telah disediakan.
Selain Cottege yang berjumlah 18 buah, di Pulau Umang ini tersedia leisure SPA, swimming pool, kids pool, jacuzzy, ‘Sunrise CafĂ©’ yang menyuguhkan makanan lokal maupun internasional, function hall, meeting room, karaoke room, games room, billiard, tenis meja dan aktivitas olah raga air lainnya.
Menurut Cristian P.B Halim, pemilik Pulau Umang SPA & Resort, berbagai fasilitas wisata tidak sekadar menjadi gaya hidup yang disenangi masyarakat kota, tetapi lebih memiliki konsep back to nature dan sebagai sarana rekreasi yang menyehatkan serta bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup dan keseimbangan alam. “Semua fasilitas di sini bernuansa alam yang khusus dirancang untuk memperindah alam, pesona wisata, dan memberikan kemewahan bagi masyarakat,” terang Cristian.
Pesona wisata Pulau Umang tidak hanya terlihat dari atas permukaan, di dasar laut juga cukup menawan dan menyegarkan. Saat Tangerang Tribun melakukan snorkling untuk memantau sekitar laut dangkal, keseimbangan ekosistem laut terjaga cukup baik.
Dari Pulau Umang hingga Pulau Oar, terumbu karang dan berbagai spesies ikan masih bisa disaksikan.
Pulau Umang Resort & Spa mempunyai beberapa faktor yang dapat memberikan kenyamanan para wisatawan, yaitu lokasi terletak di teluk yang terlindung aman dari gelombang dari laut lepas, karena terbendung oleh Tanjung Lesung, sebelah selatan oleh Ujung Kulon, sebelah barat oleh Pulau Panaitan. “Pulau Umang pantas menjadi pilihan berwisata alam bebas yang nyaman, menyegarkan dan mengesankan,” ungkap Cristian.
Pulau Umang Resort & Spa menjadi salah satu pilihan utama untuk berlibur maupun untuk mengadakan acara meeting, seminar, company gathering, outbound team building, pelatihan, Prewedding foto, wedding party, honeymoon, maupun kegiatan lainnya sekaligus menikmati suasana alam bebas yang menyegarkan.(rj)

Senin, 05 November 2007

Will Pluralisme Recover in Indonesia?

Indonesia arguably owes its existence to two crucial decisions. In both, a majority waived any claim to a special position in the new Indonesia for the sake of unity. In 1928, at the so-called "oath of the youth", the Javanese agreed that Malay, spoken by less than 5 percent of all Indonesians, and not their beautiful ancient Javanese, would become the national language.
And this although the Javanese account for 40 percent of the Indonesian population. It is now generally agreed that, had they chosen Javanese, Indonesia would never have taken off since she would have been regarded by all the others as merely a Javanese project. They would have opted out.
The second crucial decision was, of course, Pancasila. On June 1, 1945, Sukarno proposed Pancasila to overcome serious dissent about the philosophical basis of the future Indonesia (a secular-nationalistic or an Islamic state?).
Pancasila could finally be inserted into the Indonesian Constitution when the assembly unanimously dropped the demand that Muslims be obliged to follow sharia, thereby agreeing implicitly that the majority religion, Islam, would not get any special position in the new state.
This generous, far-sighted recognition of Indonesian pluralism has been the cornerstone of the "improbable" unity of the island nationSabang to Merauke" (a popular nationalistic song), with its hundreds of different languages and its religious pluriformity.
That this pluralism had limits became terribly visible in the aftermath of the coup attempt by the 30 September Movement on Oct. 1, 1965, in which hundreds of thousands of "communists" were slaughtered. If we leave the (extremely important) political ramifications out, we can maybe say that this genocide happened because non-communists felt so threatened by communist positioning that, after the bloody coup (and remembering communist mass killings in 1948), they shutout of the community.
Since then, such exclusion has happened several times on a local, but never again on a national level. But it is a stark reminder that under the sometimes tranquil surface of Indonesia terrible monsters lurk, ready to break out if the fundamental cosmic unity of the community breaks down. Thus pluralism, the ability to accept cultural-religious diversity insurroundings and live with it in a relaxed way, is absolutely crucial for Indonesia.
But now pluralism is under attack. During the last years hundreds of places of worship have been burned down and religious communities forced to stopworship. Since the fall of Soeharto, religious zealots openly fight for the introduction of religious law, threatening the traditional freedom of Indonesians to determine themselves how to practice their religions, thereby threatening their social identity.
These attempts have been rebuffed at the national level, but religious legislation is now entering from the back door - utilizing the astonishing indolence of the present government.
In more than 40 municipalities and regions religiously stipulated codes of behavior have been made obligatory, often particularly discrimi-nating against women.
Typical for this creeping attack on the pluralistic culture of the country was the proposed law againstand porno-action". This law would have cold-bloodedly declared century old traditions of indigenous behavior as pornographic.
At the same time traditional pluralism seems to be eroding. The number of people favoring hard-line attitudes, and sympathetic to terrorism, is growing. Although direct communal conflicts have not occurred during the last four years, the alienation between culturally and religiously defined communities is increasing. It is said, for instance, that the big markets in Jakarta like Pramuka, Senen or Tanah Abang have been taken over by specific ethnic groups (Betawi, Madurese, Bataks, East Timorese and others), which at least makes open warfare less likely.
Although inter-religious dialog occurs, suspicions between religious communities are strong. This has been acerbated by religious teachers instructing children to avoid contact with children from other religions. At certain departments of famous state universities students are placed by other students according to their respective religion in order to easier control their fasting.
The old tradition of wishing each other happy Christmas or happy Idul Fitri has almost died out since a fatwa (edict), forbidding precisely this, has been revived. Last year's fatwa by the Indonesian Ulemas Council (MUI) condemning- MUI later publicly stated that the fatwa was not directed at other religious communities - nevertheless has tainted the wordwith the insinuation of something sinful.
The outgoing year 2006 gave mixed signals. The infamous "Ordinance on the building of places of worship" of 1969 was replaced by aOrdinance" by the Religious Affairs Ministry and of the Home Ministry which brings some improvements, although it still does not refer to the constitutionally guaranteed freedom of worship. Forced closures of "unofficial" churches still happen, although on a smaller scale.
Last October a Rosary-group in Jakarta was forcefully stopped in mid-prayer by neighbors with backing of militia members from the Islamic Defenders Front. Attacks on the Ahmadiyah community still occur.
And should Lia Amminuddin, whose about 300 followers believe her to be both Mary the Mother of Jesus and the angel Gabriel, really be put in prison? The shameful execution of "the Poso three" (Tibo, Dominggus, Riwu) last September did, as predicted, nothing to lower the tensions in the region.
But there are some hopeful signs. Both in Ambon and in Poso attempts to provoke the communities into renewed fighting have not succeeded. Local people now understand that they have been played against each other by outside parties and are no longer willing to do their bidding.
The year 2006 could also be called the year Indonesian nationalism began to reassert itself. On June 1, 2006, the long neglectedDay", President Susilo Bambang Yudhoyono made a strong plea for re-actualization of Pancasila. Since then Pancasila talk is back in Indonesia. Indonesians are remembering that they have their own philosophy of the unity of their nation which is, at the same time, a strong beacon of fundamental ethical orientation for all Indonesian politics.
Representatives of all religions have welcomed this development. In the face of extremist ideological threats Pancasila is the obvious moral and humanistic resource Indonesians can fall back upon.
How will things go on? This depends, obviously, on all the relevant actors. I can only make a few suggestions. First of all, intellectuals, moderate religious leaders (the big majority of them) and nationalists should finally acknowledge that Indonesia is in real danger of being subverted by extremists and fundamentalists. The time for complacency is over. If we want an open, democratic, plural, peaceful, free, dynamic Indonesia, now is the time to state this openly. Religious leaders particularly should no longer leave religious discourse to the extremists.
Thus intellectuals and religious moderate mainstream leaders should loudly and clearly announce their commitment to the "just and civilized humanism" of Pancasila. They should take a clear stance against violence and attempts to impose exclusivistic regulations on society.
They should not stay silent in front of extremist challenges. This has to be accompanied by ongoing inter-religious dialog, down to the grassroot level.
Pluralism and tolerance have to be entered into the curriculum at schools, possibly in the framework of a renewed Pancasila course. There should be a general campaign against all violent behavior and for a commitment to civilized behavior under all circumstances, which would mean nothing else than a sustained attempt to help people to grow out of narrow communalism into an ethics of responsibility.
It is clear that the government of President Yudhoyono is in the dock. At least three things are demanded: First that the government continues to make Pancasila the central moral reference for all politics in Indonesia. Second, violence should no longer be condoned under any pretext, and the government has to make this clear.
The government has to give the police full backing for taking the necessary measures against fanatical mobs. Third, freedoms and rights guaranteed in our Constitution - the amended Constitution of 1945 - have to be unequivocally protected and safeguarded.
For the inroads hard-line attitudes have made into the generally still moderate and tolerant majority of the Indonesian people the timid attitude of the government is partly to blame.
People standing up to extremist pressures are not seldom left out in the rain. Only when the rule of law is re-established without compromise can Indonesian democracy begin to flourish.
The year 2006 has brought some progress. It depends to a big part on the government of President Yudhoyono whether this trend is continued for the benefit of the whole of Indonesia.
The author, a Jesuit priest, is a professor at Driyarkara School of Philosophy in Jakarta. (Franz Magniz SJ/The Jakarta Post)

Kamis, 01 November 2007

Reaktualisasi Kebenaran Agama

Budayawan Romo Frans Magnis Suseno mengatakan diperlukan semangat baru untuk mengaktualisasikan kebenaran dalam ajaran agama karena agama, kemanusiaan dan ilmu sebenarnya tidak saling bertentangan.
Dalam diskusi buku "Manusia, Al-Quran, Jalan Ketiga Religiusitas di Indonesia" karya Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan anggota Komnas HAM, Prof Dr Abdul Munir Mulkan di Yogyakarta, Kamis (1/11/1007), ia mengatakan dalam buku tersebut ditemukan beberapa hal yang menarik, terutama dalam kehidupan bersama seperti istilah kekafiran.
Dalam buku tersebut oleh penulisnya, kafir diartikan tidak sebatas orang yang tidak mengenal Tuhan atau tidak beragama, namun lebih dalam arti para pelaku kejahatan seperti korupsi dan juga kasus politik lain. "Kekafiran dalam buku itu diartikan sebagai pengkhianatan terhadap kejujuran dan suara hati nurani, seperti melakukan korupsi serta sebagai preman politik. Secara formal mereka beragama namun kafir dalam keyakinan," katanya.
Ia mengatakan penulis buku itu juga seolah-olah ingin menyatakan bahwa ada orang yang merasa lebih hebat dari Tuhan dan menghakimi orang lain yang berbeda ajaran dan keyakinan.
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya, Jakarta, menyatakan salut kepada penulis karena menggunakan efek tsunami yang ternyata mampu mencairkan batas keras ideologi dan mereka berani bersatu dalam nilai kemanusiaan untuk membantu orang lain.Selain itu, dalam buku itu penulis menyebutkan semangat Idulfitri seharusnya berhasil mengalahkan hasrat "Rahwana".
"Masihkah ada hati nurani, etika dan kepedulian kepada sesama yang menderita jika pemberian fitrah masih melihat latar belakang agama, kelompok dan juga suku."Buku jalan ketiga religiusitas di Indonesia sebenarnya lebih menitikberatkan pada rasa percaya secara sungguh-sungguh terhadap agama dengan mengaktualisasi visi kemanusiaan secara jujur dan benar, kata Frans Magnis Suseno.
Sementara itu, Penulis buku tersebut, Abdul Munir Mulkan mengatakan penulisan buku tersebut merupakan refleksi dirinya atas kehidupan beragama saat ini yang banyak bias. Sebenarnya manusia bisa disebut beragama jika ia benar-benar melaksanakanan ajaran agamanya secara jujur, benar dan tidak memilah- milah, sehingga bermanfaat dan bernilai bagi sesama.(antara)

Mengelola Perbedaan

Kecerdasan kita mengelola perbedaan kembali diuji. Beberapa hari terakhir ini marak berita tentang sekelompok orang yang menamakannya dirinya menganut ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Alquran Suci. Pada yang pertama, polisi telah bertindak.
Tokoh dan pengurus teras kelompok itu telah dicokok. Polisi berencana menimpakan pasal penodaan agama yang memang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sedang terhadap yang kedua, polisi belum mengambil tindakan apa-apa. Karena selain masih belum jelas duduk soal aliran ini dalam konstelasi agama-agama yang diakui negara, tokoh, dan elit pengurus kelompok ini pun belum menampakkan diri.
Implikasi kemunculan dua ajaran ini sudah jelas. Banyak orang tua dan kerabat anggota dua ajaran ini menyalurkan keluhannya. Sebagaimana terekam media massa, ada orang tua dan kerabat yang merasa anak dan saudaranya berubah perangainya sejak bergabung dengan kelompok ajaran itu. Bahkan ada yang sudah beberapa hari menghilang atau memisahkan diri dari keluarga dan kerabatnya. Mereka yang bergabung ke kelompok-kelompok ini mayoritas anak muda dan mahasiswa. Pada kelompok Al-Qiyadah lebih banyak pria, sedang pada kelompok Alquran Suci yang bergabung lebih banyak wanita.Para ahli ilmu-ilmu sosial dan humaniora mestinya urun rembug di soal ini.
Fenomena maraknya anak-anak muda terpelajar masuk ke kelompok itu perlu dibaca secara terang-berderang. Dengan begitu, apa pun kebijakan dan tindakan yang akan diambil akan berbasis pengetahuan ilmiah, masuk akal, jauh dari sikap emosional, dan bersifat menyeluruh. Ini gejala apa? Adakah hubungannya dengan latar sosial-budaya tertentu, misalnya kemiskinan, disorientasi di tengah gempuran globalisasi, atau bahkan melemahnya kepercayaan pada ajaran-ajaran agama mainstream? Atau, ini lebih pada gejala lemahnya negara mengingat sejak dulu juga ajaran-ajaran "sempalan" semacam ini juga sudah ada?Kecerdasan kita diuji lantaran di beberapa tempat sudah muncul gejala menakutkan. Ada kelompok yang merasa benar dan entah dari mana legalitas dan legitimasi didapatkannya telah melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap para pengikut kelompok Al-Qiyadah.
Kekerasan fisik dan interogasi ala fasis telah mereka tampilkan begitu vulgar dan telanjang. Sebuah video yang kami dapatkan memperlihatkan anak-anak muda itu dipukul, ditendang, dan dibanting setelah sebuah dialog penuh tekanan berjalan seret dan macet. Rasa kemanusiaan siapa pun yang melihatnya akan sulit menerima perlakuan itu.
Kita boleh tidak setuju pada orang atau kelompok lain. Tapi, ketidaksetujuan atau perbedaan mesti disikapi dan direspons secara beradab dan jauh dari kekerasan. Kalau pun perbuatan orang atau kelompok yang kita tidak setujui atau sepakati itu telah meresahkan, ada mekanisme hukum yang mengaturnya. Pasal penodaan atau penistaan agama dalam KUHP, misalnya, bisa kita gunakan.
Itu berarti harus melibatkan aparat negara, seperti polisi atau kejaksaan, karena memang untuk itulah negara ada. Kalau kita merasa negara tak berdaya, lemah, maka kitalah, masyarakat sipil, yang harus lebih berdaya.Itu artinya kita harus membiasakan diri berdialog secara cerdas. Main gampang dengan cara sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan, tanpa melakukan sesuatu yang sifatnya mencerahkan dan mengajak berdialog pihak yang kita anggap "sesat" adalah perbuatan tidak cerdas.
Orang-orang tua yang mengumbar air mata di televisi menangisi kepergian anak yang bergabung dengan kelompok-kelompok itu mestinya introspeksi. Kenapa anak lebih tertarik dan percaya pada ide kelompok itu hingga demikian mudah menular bagai virus daripada ide orang tua dan kerabatnya sendiri? Pemerintah pun kita harapkan cermat dan hati-hati menangani persoalan ini agar tak justru menimbulkan problem baru. Yang jelas, siapa pun yang main hakim sendiri dan melakukan tindak kekerasan harus dihukum. Itu jelas ada dalam banyak pasal di KUHP. (Iskandar Siahaan/Kalitbang Lip6)